Batu Bara Masih Jadi Bahan Bakar Termurah untuk Pembangkit Listrik

Komoditas batu bara masih menjadi sumber energi yang paling murah, dibandingkan sumber energi lainnya.

Batu bara menjadi salah satu energi penting, di tengah upaya pengembangan pembangkit energi baru terbarukan (EBT)

Hal tersebut, disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, melalui keterangan tertulisnya, Jumat (11/3/2022).

Hendra mengatakan sejauh ini, batu bara masih terbukti menjadi sumber energi paling murah alias affordable di dunia.

“Ketersediaan batu bara itu, relatif masih cukup banyak dan dapat diterima. Apalagi dengan perkembangan teknologi pembangkit yang rendah emisi,” katanya.

Lebih lanjut, Hendra menuturkan saat ini batu bara menjadi incaran dunia seiring dengan ketidakpastian pasokan minyak dan gas bumi akibat invasi Rusia dan Ukraina.

Bahkan, sejumlah negara pengguna gas alam sebagai sumber energi utama mulai mengambil ancang-ancang kembali memakai batu bara sebagai energi.

Beberapa di antaranya adalah Italia dan Jerman. Kedua negara itu dikenal menggunakan memilih menggunakan gas sebagai sumber energi bagi pembangkit listrik.

Tingginya harga gas membuat negara itu memilih kembali mengoperasikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batu bara dalam negeri telah mencapai 74,02 juta ton hingga 4 Maret 2022.

Jumlah itu, setara dengan 11,16 persen dari target yang telah ditetapkan pemerintah yakni 663 juta ton hingga akhir tahun nanti.

Dari jumlah tersebut, batu bara Tanah Air yang telah dijual ke pasar diekspor sebesar 11,14 juta ton dan 18,24 juta ton lainnya, diperuntukan bagi industri dalam negeri. Baik bagi pembangkit listrik maupun kebutuhan industri seperti pupuk dan semen. Sementara sisanya masih dalam proses penjualan.

Selain itu, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menerangkan bahwa pertumbuhan industri batu bara akan meningkatkan kebutuhan pada tenaga kerja. Artinya keberadaan pertambangan fosil ini mampu mengurangi jumlah pengangguran di dalam negeri.

“Kenaikan itu, juga akan kembali menghidupkan perekonomian masyarakat dan Pemda, lokasi pertambangan batu bara berada,” katanya.

Sejauh ini, batu bara terus menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar pada subsektor mineral dan batu bara. Tahun lalu, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) pada sektor ini mencapai Rp75,15 triliun atau 192 persen dari target.

Sedangkan tahun ini diproyeksi sumbangan devisa bagi negara bisa melebihi target tahun lalu.

Sebelumnya, Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo, mengatakan permintaan sektor kelistrikan telah mencapai 300 terawatt hour (TWh). Setelah dua tahun mengalami penurunan konsumsi, pertumbuhan permintaan mulai bergerak normal dengan proyeksi 4,5–4,6 persen per tahun.
Dari asumsi tersebut, perseroan memperkirakan pertumbuhan konsumsi listrik di Indonesia akan mencapai 1.800 TWh pada 2060. Dengan asumsi proyek 35 gigawatt (GW), diperkirakan masih terdapat gap energi sekitar 1.380 TWh.

Proyeksi itu, belum lagi menghitung konsumsi listrik dari pertumbuhan kendaraan listrik maupun pengurangan konsumsi gas serta peningkatan penggunaan kompor induksi.

“Dari kapasitas 230 GW tentu saja kita membangun strategi bahwa penambahan kapasitas yang baru tidak lagi berbasis batu bara, dan beralih ke energi baru terbarukan (EBT),” katanya.
Lebih lanjut, perseroan mengasumsikan pengembangan 1 megawatt EBT berkisar US$2 juta–US$3 juta. Dengan demikian, kebutuhan dana yang diperlukan untuk memenuhi 230 GW sekitar US$500 miliar–US$600 miliar.

Dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021–2030, PLN telah merencanakan replacement 1,1 GW pembangkit listrik tenaga uap dengan energi terbarukan baseload pada 2025.

Pada tahun tersebut, perusahaan setrum juga mulai menggunakan teknologi carbon capture and storage (CCS). Namun begitu, replacement PLTU menjadi EBT itu menghadapi tantangan tersendiri.

Seperti diketahui, PLTU dapat beroperasi selama 24 jam. Sementara itu, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) hanya mampu beroperasi selama 4 jam. Sebab itu, PLN akan menggunakan teknologi baterai untuk menopang 20 jam operasi.

“Cost EBT sekitar 5–6 sen, untuk itu ada ruang 4 sen untuk biaya CCS. Ini salah satu opsi yang kita pertimbangkan,” katanya.

Tarif energi terbarukan diyakini akan terus merosot di masa depan. Darmo dalam paparannya mencatat penurunan tarif PLTS mencapai 15 persen per tahun.

Pada 2015, PLTS di Kupang dengan kapasitas 5 MW masih cukup mahal mencapai 25 sen per kWh. Kemudian PLTS Likupang 15 MW turun menjadi 10,6 sen per kWh. Tahun lalu, PLTS Apung Saguling sebesar 60 MW telah turun drastis hingga 3,6 sen per kWh.

Begitupun, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) Sidrap dengan kapasitas 70 MW masih dihargai 11,41 sen per kWh pada 2015. Kemudian PLTB Tolo Jeneponto 15 MW turun menjadi 10,89 sen per kWh. Pada 2020, PLN mengindikasikan tarif PLTB US$7 sen hingga US$8 sen per kWh.

Sementara itu, Direktur Aneka EBT Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Andriah Feby Misna, mengatakan target penambahan kapasitas terpasang pembangkit EBT berdasarkan RUPTL sebesar 648 MW.

Dari jumlah tersebut, 287,4 MWp berasal dari PLTS, PLTA/M/MH sebesar 207 MW, PLTB 2 MW, PLTP 108 MW, dan PLT Bioenergi 43 MW.

“Pemerintah juga memiliki target penambahan kapasitas terpasang PLTS Atap sebesar 334,95 MW,” katanya.

Pemerintah turut mengupayakan percepatan realisasi pengembangan EBT dengan sejumlah kebijakan dan program. Beberapa di antaranya adalah program pengembangan PLTS mulai dari atap, skala besar dan terapung.

Kemudian dilanjutkan dengan program mandatori bahan bakar nabati, pemutakhiran data potensi EBT.

Menurutnya, Kementerian ESDM turut menggodok rancangan Perpres tentang harga EBT.

Regulasi ini nantinya diharapkan memberi kepastian dan sinyal positif kepada investor yang berminat untuk mengembangkan EBT di Tanah Air.

sumber : infopublik.id